Sejumlah buah lokal di Yogyakarta semakin langka dan sulit didapatkan. Namanya semakin jarang terdengar, juga sudah nyaris tak pernah lagi mengisi rak-rak di toko buah maupun di pasar tradisional.
Salah satu buah lokal di Jogja yang semakin langka adalah wuni (Antidesma Bunius L.). Peneliti di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) DIY, Kristamtini, mengatakan bahwa buah ini sebenarnya tersebar di sejumlah daerah di Indonesia, tidak hanya di DIY. Tapi buah ini penting untuk diselamatkan karena saat ini populasinya semakin sedikit.
Buah ini berbentuk mirip anggur dengan warna merah keunguan. Itu kenapa, buah ini kerap dikira buah anggur oleh orang-orang yang belum pernah melihatnya.
“Rasanya manis kalau sudah masak, kalau belum terlalu masak rasanya sedikit asam,” kata Kristamtini, Kamis (4/3).
Seperti anggur, di luar negeri wuni juga kerap dijadikan minuman fermentasi beralkohol. Selain itu, buah ini juga bisa dibuat selai.
“Sebenarnya pemanfaatannya banyak juga, cuma sayangnya sudah semakin langka sekarang,” lanjutnya.
Selain wuni, buah lokal lain yang semakin langka adalah sawo kecik (Manilkara kauki). Sawo kecik memiliki ukuran yang jauh lebih kecil ketimbang jenis sawo-sawoan lainnya. Jika sudah masak, kulitnya berwarna merah terang dengan kulit yang sangat tipis sehingga mudah terkelupas.
“Rasanya manis juga seperti sawo-sawo lainnya, cuman kadang ada rasa sepatnya,” lanjutnya.
Sawo kecik sebenarnya dapat dijumpai di tempat lain juga, seperti di kawasan Asia dan Amerika yang beriklim tropis. Di Indonesia, sawo kecik masih bisa ditemui di sekitar pesisir pantai seperti di Bali dan Nusa Tenggara. Di Jogja, sawo kecik biasanya banyak dijumpai di kawasan Keraton, konon ini menjadi tanda bahwa pohon itu ditanam oleh abdi dalem.
“Sawo kecik itu salah satu tanaman khas Jogja juga yang sekarang juga semakin langka,” kata Kristamtini.
Kepel, Lambang Kesatuan dan Keutuhan
Guru Besar Ilmu Taksonomi Tumbuhan dari Biologi UGM, Purnomo, juga menyebutkan sejumlah buah lokal lain di Jogja yang kini semakin langka. Salah satunya adalah kepel (Stelechocarpus burahol), yang kini menjadi flora identitas Yogyakarta.
Menurutnya, kepel menjadi tanaman yang memiliki nilai filosofis adiluhung bagi masyarakat Yogyakarta. Pohon ini melambangkan bersatunya niat dengan kerja atau sebagai lambang kesatuan dan keutuhan mental dan fisik.
“Kepel itu artinya genggaman tangan manusia yang berarti greget atau niat dalam bekerja,” kata Purnomo.
Di DIY, pohon kepel banyak dijumpai di Kabupaten Sleman, Bantul, serta Kota Yogyakarta. Buah ini memiliki rasa yang manis, dengan daging buah berwarna agak kekuningan hingga kecokelatan yang membungkus biji dengan ukuran cukup besar.
Biasanya, pohon kepel akan mulai berbunga mulai September sampai Oktober, dan buahnya akan bisa dipanen sekitar enam bulan setelah berbunga, yakni pada Maret dan April.
“Pohon kepel ini tumbuh liar di tanah yang lembab dan dalam, biasanya dijumpai di hutan-hutan sekunder di Jawa,” lanjutnya.
Meskipun buah kepel semakin langka, tapi sampai sekarang pemerintah belum memasukkannya ke dalam daftar spesies yang dilindungi. Lembaga konservasi internasional (IUCN), juga belum memasukkan kepel ke dalam IUCN Red List.
Gayam dan Jambu Dersana
Buah lokal berikutnya yang semakin langka adalah gayam (Inocarpus eudulis). Menurut Purnomo, gayam dalam bahasa Jawa memiliki arti nggayuh atau meraih sesuatu. Hal ini dimaksudkan supaya manusia memiliki keinginan untuk mencari jalan keutamaan hidup dengan mengharap anugerah dan berkah sultan.
Selain itu, gayam juga melambangkan ayom (teduh) dan ayem (tentrem).
“Saat ini gayam yang jadi salah satu tanaman khas Yogyakarta juga semakin langka,” kata dia.
Dulu, pohon gayam banyak ditanam masyarakat di pekarangan rumahnya, selain itu juga banyak tumbuh di sepanjang sungai besar seperti Opak. Tidak seperti buah pada umumnya, buah gayam harus diolah dulu sebelum bisa dimakan. Pengolahannya bisa dengan berbagai cara seperti direbus, digoreng, atau diparut.
Buah lokal langka berikutnya adalah jambu dersana (Syzygium aqueum). Meski sampai sekarang belum diketahui pasti dari mana asal buah ini, tapi jambu dersana sudah ditanam di Jawa dan Sumatera sejak lama.
Buah ini memiliki bentuk bulat agak lonjong dengan warna merah tua ketika sudah masak. Daging jambu dersana lebih lembut ketimbang jambu air dengan rasa yang manis. Jambu dersana biasanya akan mulai berbunga pada Mei sampai Juni, sedangkan buahnya bisa dipanen pada Agustus sampai September.
Menurut Purnomo, nama jambu darsana berasal dari kata sudarsana yang berarti suri tauladan.
“Tanaman ini punya filosofi bahwa pemimpin harus bisa menjadi contoh terhadap yang dipimpinnya,” ujarnya.
Habitat Semakin Sempit
Purnomo menjelaskan bahwa sejumlah tanaman itu semakin langka karena mengalami tekanan populasi di habitat aslinya. Degradasi habitat membuat tanaman-tanaman tersebut semakin terpinggir sehingga lambat laun populasinya semakin menipis.
“Karena perubahan iklim, kebakaran hutan, pembalakan, eksploitasi berlebih, serta pembukaan lahan pertanian, perkebunan, dan kehutanan,” ujarnya.
Hal sama disampaikan oleh peneliti BPTP Yogyakarta, Kristamtini. Menurut dia, faktor utama yang menyebabkan buah-buah lokal di Jogja semakin langka adalah alih fungsi lahan.
Pasalnya, buah-buah tersebut banyak ditanam di pekarangan rumah. Sementara, populasi manusia semakin waktu semakin besar sehingga membuat tempat untuk tinggal juga semakin luas.
“Akhirnya kan pohon itu ditebang karena tempatnya akan digunakan untuk membangun rumah,” kata Kristamtini.
Ketika melakukan karakterisasi pada 2013, menurutnya BPTP telah berpesan kepada pemilik lahan supaya tidak menebang pohon buah langka tersebut. Tapi bagaimanapun, mereka tidak punya kewenangan untuk melarang apabila nantinya masyarakat membutuhkan lahan tersebut sehingga mengharuskan pohon buah-buah langka itu ditebang.
“Kalau mau ditebang ya silakan, tapi kita minta bijinya kalau itu buah generatif tetapi kalau tidak bisa karena vegetatif ya kita cangkok atau dengan cara lain,” kata dia.
sumber:kumparan
Leave a Reply